Senin, September 15, 2008

KPK Sebaiknya Tidak Tebang Pilih

Lukas Sukarmadi dari Trisaka Law Firm International meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih terkait penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"KPK harus berdiri di atas semua kepentingan. Jangan hanya melayani kepentingan eksekutif belaka. Jadi, KPK harus betul-betul tidak melakukan tebang pilih kasus dana BI yang sudah jadi konsumsi publik ini,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/9).

Lukas menegaskan, kalau KPK tebang pilih maka artinya akan membuat apatisme publik terhadap pemberantasan korupsi. “KPK jangan hanya bilang tidak tebang pilih, tolong tunjukkan kalau memang tidak tebang pilih. Bukan hanya perang pernyataan saja,” kata Lukas.

Sejauh ini KPK telah memeriksa sejumlah pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia terkait dana Rp100 miliar melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) antara lain untuk anggota DPR periode 1994-2004.

Lukas mengingatkan, KPK harus benar-benar melaksanakan komitmennya untuk tidak tebang pilih dan melakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Meski demikian, lanjutnya, KPK tetap berdasarkan azas praduga tak bersalah. “Siapa pun yang dipanggil KPK, maka belum berarti terlibat tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu,” papar Lukas.

Sampai saat ini pembentukan ''KPK'', menurut penilaian Lukas, belum menunjukkan hasil yang maksimal. Kenyataan ini terbukti dengan banyaknya keluhan masyarakat terhadap kerja KPK. “KPK sampai saat ini hanya berkutat' di pusat saja. Sedangkan didaerah-daerah perwalian KPK jelas-jelas belum menjalankan fungsinya,” tegas Lukas.

KPK menurut beberapa kritisi dalam menjabarkan fungsi kerjanya terbentur' dengan birokrasi dan peraturan-peraturan pemerintah yg lebih tinggi.

Lukas melihat, KPK kurang berani dalam mengusut pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi. “Ketika KPK mengetahui dan mencium adanya penyimpangan dalam sebuah lembaga negara, KPK tidak bisa 100% menjalankan fungsinya,” katanya.

Mengapa hal itu bisa terjadi. Menurut Lukas, karena KPK harus berhadapan dengan orang-orang yg mengeluarkan peraturan dan instruksi. Lalu terjadi tabrakan antara pembuat kebijakan dengan KPK. Peraturan dan instruksi di Indonesia dibentuk secara tumpang-tindih, sehingga dalam pelaksanaan saling berbenturan.

Agar KPK tidak secara terus menerus mendapatkan hujatan, kata Lukas, seharusnya lembaga itu menelusuri fakta-fakta persidangan di persidangan. “KPK jangan hanya menerima laporan saja, tetapi harus terjun langsung,” paparnya.

Tebang pilih yang dilakukan oleh KPK terlihat jelas dalam kasus hukum yang menimpa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sebagai pelaku tunggal dalam kasus tersebut. “Itu jelas-jelas mengindikasikan adanya tebang-pilih dalam langkah yang diambil KPK,” kata Lukas.

KPK sebagai institusi hukum yang khusus menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi, menurut Lukas seharusnya menjadi contoh yang baik, bagaimana suatu kasus korupsi ditangani dengan benar dan tanpa pandang bulu.

Lukas mencontohkan, dalam kasus dugaan korupsi nonbujeter DKP, KPK-lah institusi hukum yang mengungkap terjadinya pendistribusian illegal dalam Pilpres 2004 lalu. Oleh karenanya, KPK pula yang harus menuntaskan kasus tersebut.

Di sisi lain, Lukas berpendapat, KPK seharusnya memberi perlindungan hukum kepada Rokhmin Dahuri yang berani mengungkap permainan yang melibatkan elite-elite politik dalam Pilpres 2004. “KPK harus berupaya membendung intervensi dari pihak-pihak tertentu yang berusaha membungkam pengungkapan fakta-fakta yang mungkin lebih meluas dan melibatkan kepetingan yang lebih tinggi,” katanya.

Sementara, juru bicara KPK Johan Budi SP dalam kesempatan terpisah, mengatakan, KPK tidak pernah tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. “Kita akan proses jika bukti-bukti sudah cukup. Kalau belum cukup, kita proses yang sudah cukuo terlebih dahulu,” katanya.
Mulyana.