Senin, September 22, 2008

Baharuddin Aritonang Harus Segera Diadili

Salah satu penerima dana suap BLBI sebesar Rp250 juta, Baharuddin Aritonang diminta untuk segera diadili dan dicoret dari anggota caleg. Permintaan itu dilontarkan oleh pengamat hukum Lukas Sukarmadi, S.H. di Jakarta Senin, 22 September 2008.

Lukas menegaskan, setiap orang yang diduga tersangkut masalah hukum sebaiknya tidak melakukan perjalanan ke luar negeri untuk memudahkan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk itu, lanjut Lukas, Depkumham segera mengeluarkan surat cekal bagi siapapun yang tersangkut masalah korupsi, termasuk Baharuddin Aritonang. "Pemerintah harus proaktif," papar Lukas.

Pencekalan itu, kata Lukas, sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar tidak kecolongan. Apalagi yang bersangkutan menjadi caleg. “Jangan sampai, orangnya sudah kabur, baru sibuk memikirkan pencekalan,” kata Lukas mengingatkan. Sebagai anggota BPK, kata Lukas, Aritonang tidak sepatutnya melakukan perbuatan tercela seperti itu.

Lebih jauh Lukas meminta agar KPK segera menangkap dan mengadili Aritonang, karena bukti dan saksi sudah cukup. "KPK jangan mengulur-ulur waktu, agar status Aritonang jalas, apakah dia bersalah atau tidak, apalagi Aritonang mencalonkan diri menjadi caleg Golkar. Maka dari itu tindakan proaktif sangat diperlukan," papar Lukas.

Sementara itu, KPK berjanji akan menindaklanjuti pernyataan tersangka aliran dana BI Anthony Zeidra Abidin yang mengaku diperas anggota BPK Baharuddin Aritonang dan Abdullah Zaini.

Ketua KPK Antasari Azhar juga berjanji akan mengusut kasus itu bila dalam penyelidikan ditemukan indikasi pidana dari pengakuan mantan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu. “Kalau ada indikasi yang muncul, kita akan lakukan pengumpulan data. Jika memang ternyata kelihatan, baru penyidikan dan mengumpulkan alat bukti,” kata Antasari Azhar seusai diskusi dalam Sidang Paripurna Khusus DPD, Jakarta.

Jika sejauh ini belum menetapkan Baharuddin Aritonang sebagai tersangka, karena menurut Antasari, KPK membutuhkan bukti kuat tentang adanya pemerasan agar kasus itu bisa diusut. Kita juga menggunakan prosedur standar menangani setiap kasus dan bertindak profesional. Untuk itu, lanjut Antasari,“Kalau kita abaikan maka KPK bisa dianggap tidak profesional. Ini bahaya,” katanya.

Seperti diberitakan banyak media, Anthony mengaku diperas Baharuddin Aritonang sebesar Rp500 juta. Pernyataan itu dikemukakan saat bersaksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Anthony mengaku Baharuddin merupakan teman Anthony semasa duduk di Komisi IX DPR periode 1999-2004. Berdasarkan pengakuanWakil Gubernur Jambi itu, pemerasan pertama terjadi saat Anthony dan Hamka Yandhu dipanggil BPK untuk menjelaskan mengenai hasil audit staf pemeriksa keuangan.

Pemerasan kedua terjadi saat BPK memerlukan dana untuk amandemen UU BPK. Waktu itu Wakil Ketua BPK Abdullah Zaeni, melalui Hamka Yandhu, meminta uang sebesar Rp500 juta. Namun, lagi-lagi Anthony tidak memenuhi permintaan tersebut. Menurut Anthony, dia tidak mampu untuk memberi uang sebanyak itu dengan gajinya yang hanya Rp6,5 juta per bulan.

Sebelumnya tersangka kasus aliran dana BI, Hamka Yandhu dalam persidangan menyatakan, sebanyak 52 anggota komisi IX DPR RI menerima dana dari BI pada 2003. Salah satu nama yang disebut adalah Baharuddin Aritonang. Menurunya, Aritonang yang saat itu aktif menjadi anggota Komisi IX DPR menerima dana BI sebesar Rp250 juta.

Namun Aritonang membantah pengakuan Anthony.“Nanti di persidangan kita lihat, bukan tidak mungkin yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi di persidangan,” katanya.

Kasus aliran dana BI menurut Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Denny Indrayana, harus segera dituntaskan. Untuk itu ia mendesak KPK menindaklanjuti keterlibatan dua petinggi BPK. “KPK sebenarnya sudah mengetahui perkara ini. Hanya, belum ingin menjadikan prioritas. Apalagi, banyak nama yang muncul dalam fakta persidangan. Saya harap KPK bisa lebih cepat menindaklanjuti ini,” kata Denny.

Menurut Denny, kendati KPK belum memprioritaskan pemeriksaan pada dua petinggi BPK itu, ia berharap ada perhatian dari lembaga pemberantasan korupsi. Apalagi, lanjut dia, Ketua BPK Anwar Nasution telah menyerahkan sepenuhnya dugaan keterlibatan dua anggotanya pada KPK. “Jadi, tunggu apa lagi,” katanya.

Bak virus mematikan, kesaksian anggota DPR Hamka Yandhu di sidang Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin silam, membuat panas dingin jajaran partai politik, termasuk Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Kalla berjanji akan memecat kadernya yang terbukti korupsi. Kalla juga berjanji tak akan menghalangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap keterlibatan kader partainya yang menikmati dana haram itu. Bahkan bila terbukti, imbuh Kalla, kader bersangkutan tidak akan dicalonkan kembali dalam pemilihan umum mendatang.

"Biar berjalan proses hukum itu. Apa pun yang terjadi di pengadilan, semua pihak akan menerimanya. Pemerintah juga akan menerima dan tidak akan menghalangi penyelidikan dalam hal apa pun yang dilakukan KPK, terhadap apa yang terjadi di DPR," jelas Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar.

Selain mengancam anggota kabinet yang terseret aliran dana BI, Kalla juga akan memecat 14 anggota Fraksi Partai Golkar DPR periode 1999 2004 yang menikmati aliran dana BI ke DPR.

"Ada 50 orang. Semua partai ada di situ. Pada Pemilu 1999, Golkar nomor 2. Otomatis yang terbanyak PDIP. Itu konsekuensi jumlah partai yang ada di DPR. Golkar akan otomatis. Seluruh anggota Golkar di DPR akan diganti," ujar Kalla.

Kalla menegaskan, Golkar tidak akan menutup nutupi apa pun putusan pengadilan. Ia menekankan, calon legislator dari Golkar harus memenuhi dua syarat terpenting, yakni selalu bersih dari kasus hukum dan mempunyai surat kelakuan baik.

"Orang terkena itu susah mendapatkan surat kelakukan baik. Selain syarat internal partai, syarat pemilu juga tidak bisa untuk orang seperti itu. Kalau punya, cacat," tandasnya.

Dari Fraksi Golkar, yang menerima dana aliran BI adalah Hafid Alwi, TN Nurlid, Baharuddin Aritonang (sekarang anggota Badan Pemeriksa Keuangan), Antoni Zeidra Abidin, Ahmad Hafiz Zawawi, Asep Sujana, Bobi Suhadirman, Aji Ashar Muklis, Abdullah Zaini (sekarang Wakil Ketua BPK), Ryan Salampessy, Hamka Yandhu, Henky Baramuli, Reza Kemarala, dan Paskah Suzetta. Masing-masing menerima Rp 250 juta, kecuali Paskah dan Hamka.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono pun menegaskan, kalau terbukti bersalah di pengadilan, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar yang menerima dana BI otomatis tak bisa dicalonkan lagi sebagai anggota legislatif.

"Daftar calon anggota legislatif yang bersih amat penting dan itu merupakan salah satu dokumen strategis untuk kemenangan Pemilu. Karena itu, mereka yang terkena masalah hukum tidak akan dimasukkan sebagai caleg 2009," katanya. (Wicaksono)