Kamis, Februari 17, 2011

Mengurai Benang Kusut Gas Nasional

Pasokan gas dalam negeri sebetulnya melimpah, tetapi sering tersendat karena kebijakan pemerintah memilih untuk ekspor. Kelangkaan pasokan gas dalam negeri ternyata tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, namun juga disebabkan oleh struktur pasar gas domestik yang tidak sehat.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Refor Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi Geo Energi Monthly Discussion 'Pasokan Gas, Antara Harga dan Kebutuhan' di Hotel Bidakara, Jakarta, (17/2). "Bukan hanya infrastruktur saja, namun kelangkaan pasokan gas ini juga disebabkan buruknya struktur pasar gas domestik," beber Pri Agung kepada Bogor Review.
Buruknya struktur pasar tersebut, kata dia, adalah mahalnya harga gas dari hulu, baik oleh PT Pertamina dan PT PGN. Hal itulah yang membuat harga pada produsen menjadi mahal sebelum ke tangan konsumen baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri. Dia mencontohkan, harga jual di tingkat kepala sumur (harga beli gas dari produsen/kkks) rata-rata berkisar 2,77 USD/MMBTU, sementara harga jual di tingkat konsumen akhir mencapai 6,3 USD/MMBTU. "Dengan spread harga 3,53 USD/MMBTU maka terlalu mahal," katanya.

Selain itu, dengan tool fee berkisar 0,02-0,73 USD/MMBTU (Pertamina) dan 0,46-1,47 USD/MMBTU (PGN), spread harga sebesar 3,53 USD/MMBTU dapat dikatakan terlalu besar.

Sementara pembicara kedua, Achmad Wijaya Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) menegaskan bangsa Indonesia tidak bisa mengelola sumber daya alam yang diberikan Tuhan, sehingga kekayaan alam yang ada selalu dianggap kurang. “Kita semua tahu dan pernah membaca data bahwa di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua banyak tersimpan gas alam, tetapi sebagian besar untuk ekspor. Kebutuhan domestik malah diabaikan,” katanya.

Achmad berharap pemerintah bisa membangun komunikasi dengan sesama departemen, para pengusaha, dan masyarakat migas untuk mengurai benang kusut pasokan gas nasional. Dengan demikian, pemanfaatan gas alam lebih optimal. “Saat ini tidak ada koordinasi antar lembaga di pemerintah. Masing-masing lembaga baru pandai mengajukan road map,” paparnya.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen yang dibangga-banggakan pemerintah menurut Achamd, tidak sepenuhnya benar. “Pertumbuhan apa, kalau pertumbuhan ekonomi yang bersifat konsumtif, memang iya. Jadi, ekonomi kita tidak pernah tumbuh dalam hal produktivitas,” tegasnya.

Diskusi bulanan ini diselenggarakan oleh Majalah GEO ENERGI bekerja sama dengan Forum Energi Indonesia, serta didukung oleh PT Bayu Buana Gemilang, INGTA (Indonesian Natural Gas Trader Association), dan Bank Muammalat.

Acara dibuka oleh Rubiyanto, pemimpin umum Majalah GEO ENERGI dengan menghadirkan pembicara Priagung Rakhmanto (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Achmad Widjaya (Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) yang dimoderatori oleh wartawan senior, Danto. Rubiyanto berharap, diskusi semacam ke depan bisa menjadi salah satu arena untuk mencari solusi dalam masalah migas nasional. Ade Sutarna.