Rabu, September 12, 2007

Kekalahan TIME: Isu Kebebasan Pers atau Kasus Korupsi?

Dalam hari-hari ke depan akan kita lihat dua arus utama angle pemberitaan media: masalah kebebasan pers
dan substansi pemberitaan TIME itu sendiri (kasus dugaan korupsi/power abuse oleh Soeharto sendiri).

Dua-duanya penting. Hanya saja, dalam isu ini, menurut saya, kok lebih afdol bila kita mengadvokasi TIME
dengan cara 'mendukung' substansi liputannya, daripada 'mendukung' institusi bisnisnya.

Bila media fokus pada substansi isu yang diliputnya, maka kontribusinya bagi pemberantasan korupsi dan
agenda reformasi (adili Soeharto), akan cukup signifikan.

Karena di saat yang sama, Kejaksaan Agung juga sedang menggenjot kasus perdata Soeharto (setelah pidananya
gagal total). Ada juga kasus rebutan aset di Guernsey antara negara vs Tommy. Jadi ini akan jadi agenda yang
simultan dan sinergis.

Energi kedua, barulah dialokasikan untuk mengadvokasi isu kebebasan pers-nya. Meski, sebenarnya ini bukan
kasus kriminalisasi. Tapi sebuah gugatan perdata yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang merasa dirugikan
dengan pemberitaan media.

Meski Undang-Undang Pers kita mengatur bahwa maksimal denda 'hanya' Rp 500 juta, dan bukannya Rp 1 triliun
--yang mungkin bisa membangkrutkan media (breidel dalam bentuk lain).

Yang jelas, pengacara TIME akan membawa dua angle ini dalam setiap perjumpaannya dengan wartawan: tentang
kebebasan pers dan perjuangan negara melucuti aset Soeharto.

Yang saya ingin share adalah, untuk angle yang pertama, agaknya pengacara TIME yang satu itu, sama
sekali tidak memiliki kredibilitas untuk mengusung kampanye kebebasan pers.

Dalam kasus acehkita.com, rekam jejak beliau sebagai board menunjukkan, pernah mengusir para wartawannya,
memerintahkan penutupan situs yang didanai publik, dan sampai sekarang menguasai server yang isinya file-file
dokumentasi tentang tragedi kemanusiaan di Aceh hasil liputan para wartawan. Server itu dikuasai bukan untuk
agar isinya bisa dinikmati publik.

Semua ini dipicu oleh perselisihan antara board dan serikat pekerja, dalam isu transparansi dan alokasi
dana kemanusiaan tsunami. Janji untuk melakukan audit keuangan, tak kunjung dipenuhinya hingga dua tahun berlalu.

Dengan faktor-faktor 'subyektif-historis' ini pula, saya agak kurang bersemangat mengutip pengacara satu
itu, bila dia membawa-bawa kampanye kebebasan pers.

Tapi karena masalah ini juga penting, maka saya akan mengambil sumber lain saja bila mengambil angle ini.

Anggap saja ini disclaimer seorang jurnalis...